Tags
Advokasi, agama, Ahmadiyah, Al-Qur'an, Bangsa, GKI, Hak Asasi Manusia, HAM, Kultus, The Wahid Institute, Toleransi, Tuhan, UUD 1945
Oleh Ngesty Tsalits
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang di bawa manusia sejak ia hidup yang melekat pada esensinya sebagai anugrah Tuhan yang maha kuasa. Bila hak asasi manusia belum dapat di tegak kan maka akan terus terjadi pelanggaran dan penindasan atas Ham baik oleh masyarakat, bangsa, atau pemerintah. Tak bisa di pungkiri bumi sebagai tempat hunian manusia adalah satu. Namun para penghuninya terdiri dari berbagai suku , ras, bahasa, profesi , kultur dan agama. Dengan demikian fenomena kemajemukan tak bisa dihindari. Kemajemukan atau keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial. Undang-undang dasar 1945 sebagai hukum negara menyatakan dengan jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama nya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Karena itu ditegaskan semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Yang lain tidak perlu dipaksa pindah agama sebagaimana realita yang kita lihat selama ini. Setiap orang memiliki hak dasar memeluk agama, yang berarti kebebasan dan kewenangan seseorang untuk menganut suatu agama yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-kafirun 109:6 yang berbunyi “Lakum dinukum wa liya din” yang artinya : Untuk kalian agama kalian dan untukku lah agamaku. Qur’an surat Al-Baqarah 2:256 yang berbunyi “La ikraha fi al din” yang artinya : Tidak ada paksaan dalam agama”. Sedangkan orang yang lain memiliki kewajiban untuk mengakui kewenangan orang tersebut. Banyak kelompok menolak kemajemukan dalam beragama, mereka adalah orang-orang yang biasanya beranggapan bahwasannya agama merekalah yang paling otentik bersal dari tuhan. Sementara agama lain di anggap sebagai kontruksi manusia, mungkin saja berasal dari tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umat nya sendiri Seluruh agama mengajarkan agar umatnya menyembah tuhan. Hanya saja sebagaimana lazimnya setiap agama atau kepercayaan selalu memiliki konsepsi-konsepsi atau rumusan-rumusan tentang tuhan yang kemungkinan berbeda antara satu umat dengan umat yang lain. Jadi suatu kemajemukan merupakan suatu hal yang seharusnya dapat dimengerti oleh suatu negara. Sehingga dinegara ini terciptanya sutu tatanan yang kondusif. Tanpa ada suatu hal apapun yang menjadi bumerang. Setiap manusia mempunyai hak masing- masing, apalagi masalah beragama. Contoh, yang tidak pernah selesai ada permasalahan dalam beragama. Yang seharusnya masalah ini tidak harus diperdebatkan, karena setiap individu pasti memiliki naluri ketuhanan yang tidak boleh kita paksakan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa; didunia ini banyak sekali agama- agama. Jadi jelaslah bagi kita agama tidak mungkin tunggal. Dan apabila seseorang beranggapan bahwa hanya satu agamalah yang patut ada dimuka bumi ini, itu adalah hal yang sangat mustahil sekali. Setiap agama memiliki jalan sendiri- sendiri, jalan- jalan menuju tuhannya beragam, banyak , dan tak tunggal. Semuanya bergerak menuju tujuan yang satu ,yaitu Tuhan. Tuhan yang satu yang tidak mungkin dipahami . Secara tunggal oleh seluruh umat beragama kehendaki. Maka kita harus memiliki sikap toleransi dan sikap tenggang rasa yang tinggi untuk menghargai dan menghormati setiap individu yang memiliki agama yang berbeda dengan individu yang lain. Dengan begitu terciptanya sikap saling mengakui dan saling mempercayai tanpa ada kekawatiran untuk dikonversikan kedalam agama tertentu baik secara halus maupun terang- terangan. Para aktivis LSM kerap kali terlibat dalam aksi bersama untuk melakukan kritik terhadap intervrensi negara pada dominan agama yang memang bukan wilayahnya hingga aksi mengadvokasi korban kekerasan atas nama agama, korban di deskriminasi etnik dan korban pelanggaran HAM dan demokrasi. The Wahid Institute melakukan advokasi, kepada kelompok Ahmadiyah yang belakangan mengalami kekerasan , serta hal-hal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, Hak Asasi Manusia (HAM), dan nilai-nilai demokrasi. Di samping itu, bersama Crisis Center GKI ( Gereja Kristen Indonesia ), The Wahid Institute juga menyelenggarakan workshop untuk kalangan pendeta dan calon pendeta. Workshop yang berlangsung sebanyak sembilan kali pertemuan dan live in di pesantren selama tiga hari itu bukan hanya membicarakan penegakan HAM , keadilan dan kesetaraan gender, pluralisme agama, dan demokratisasi di Indonesia. Memperhatikan fakta-fakta di atas, dialog agama tidak hanya bertumpu pada pemecahan problem keberagamaan , melainkan juga diarahkan pada bagaimana agar dialog tersebut memberi kontribusi signifikan bagi proses demokratisasi. Untuk tujuan itu, para aktivis dialog agama kerap melakukan formulasi ulang terhadap pandangan-pandangan normatif agamanya menyangkut hakikat manusia ,martabat manusia, kesetaraan semua manusia dan solidaritas sejati antara sesama umat manusia .Telah lama di sadari, dialog adalah langkah terwujudnya kehidupan demokratis. Dialog melatih untuk membangun sikap saling memberi dan menerima (take and give), tenggang rasa, saling mendengar, dan empati kepada orang lain. Dari sini, dialog di harapakan dapat merumuskan langkah demokratis dengan mengindentifikasi terlebih dulu sejumlah tantangan yang di hadapi masyarakat. Sebab, tantangan yang di hadapi salah satu agama merupakan tantangan yang dihadapi agama yang lain pula. Problem yang di hadapi agama, hakikat nya adalah problem yang di hadapi seluruh manusia.